sholat |
Rasulullah
Shallallahu'alaihiWasallam memperingatkan kita yang hidup di belakang
hari menjelang semakin dekatnya Kiamat bahwa proses dekadensi Ummat
Islam akan terjadi seiring ditingalkannya pemberlakuan aspek hukum Islam
atau hukum Allah sampai diabaikannya kewajiban menegakkan kewajiban
sholat. Padahal kita menyaksikan dewasa ini bahwa kedua kutub ekstrim
tersebut jelas-jelas telah ditinggalkan oleh sebagian besar ummat Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at
paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah
Shallallahu'alaihiWasallam penutup para nabi, dan dia malah merujuk
hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh
(dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum
kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang
melakukannya maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”. [Al Bidayah Wan
Nihayah: 13/119].
Lalu Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan
lebih lanjut tentang tentang Kitab Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab
undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari
berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang
lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar
pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya
menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al
hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu ‘alaihi wasallam
(berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam). Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali
kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan
hukum dalam hal sedikit atau banyak”.
( Kaitannya dengan Sholat )
Nabi Shallallahu'alaihiWasallam sangat menganjurkan agar kaum muslimin
pria sedapat mungkin menegakkan sholat lima waktu berjamaah di masjid
kecuali jika ada uzur syar’i. Dan mereka yang tanpa alasan benar
meninggalkan sholat berjamaah ke masjid dikaitkan dengan penyakit
kemunafikan. Di antaranya kita dapati hadits berikut:
(MUSLIM -
1041) : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat yang
dirasakan berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya` dan shalat
subuh, sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan
mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk
menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh
seseorang dan ia mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang
membawa kayu bakar untuk menjumpai suatu kaum yang tidak menghadiri
shalat, lantas aku bakar rumah mereka."
Sungguh keras sekali
anjuran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam agar setiap muslim menghadiri
sholat berjamaah di masjid. Bahkan beliau mengancam akan membakar
rumah-rumah mereka yang sengaja tidak menghadiri sholat berjamaah di
masjid. Dan lebih daripada itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menggambarkan bahwa mereka yang enggan sholat berjamaah di masjid
merupakan indikasi kuat golongan munafik. Tidak mengherankan bilamana
sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu sampai menyampaikan
pendapat sebagai berikut:
(MUSLIM - 1046) : Dari Abdullah bin
Mas’ud ia berkata: "Menurut pendapat kami, tidaklah seseorang
ketinggalan dari shalat (berjamaah di masjid), melainkan dia seorang
munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen)."
Sungguh
jika melihat begitu banyaknya masjid dewasa ini yang sepi di waktu
sholat lima waktu, kita sangat khawatir jangan-jangan ini indikasi bahwa
terdapat begitu banyak orang yang berpotensi munafik di sekeliling
kita.
Dan jika hal ini benar adanya tidak mengherankan bila
pemberlakuan kembali Syariat Islam dan Hukum Allah menjadi sangat sulit.
Sebab jangankan kaum kafir di luar Islam, sedangkan di tengah tubuh
ummat Islam sendiri lebih banyak hadirnya kaum munafik daripada kaum
mu’min sejati. Padahal Allah telah menegaskan bahwa fihak yang paling
keras menolak diajak kepada pemberlakuan hukum Allah dan hukum
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah kaum munafik. Wa
na’udzubillah min dzaalika.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ
رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum
yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat
orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu.” (QS An-Nisa 61)
Saudaraku, disinilah
letaknya komitmen seorang mukmin. Seorang mukmin harus menjawab dengan
jujur dan penuh kesadaran. Masyarakat seperti apakah yang ia inginkan?
Masyarakat kumpulan hamba-hamba Allah yang beriman dan patuh
berserah-diri kepada Allah? Ataukah ia puas dengan berdirinya suatu
masyarakat yang terdiri atas kumpulan manusia yang tidak peduli taat
atau tidaknya mereka kepada Allah asalkan yang penting masyarakat itu
berjalan dengan harmoni tidak saling mengganggu dan menzalimi sehingga
semua merasa happy hidup bersama berdampingan dengan damai di dunia?
Saudaraku, seorang mukmin tidak pernah berpendapat sebelum ia bertanya kepada Allah dan RasulNya.
Terutama bila pertanyaannya menyangkut urusan yang fundamental dalam
kehidupannya. Oleh karenanya marilah kita melihat bagaimana Allah
menyuruh kita bersikap bilamana menyangkut urusan hukum.
Di
dalam Kitabullah Al-Qur’an Al-Karim terdapat banyak ayat yang memberikan
panduan bagaimana seorang mukmin mesti bersikap dalam urusan hukum. Di
antaranya sebagai berikut:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)
Dalam buku ”Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir” Muhammad Nasib Ar-Rifa’i mengomentari potongan ayat yang
berbunyi “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah...” dengan catatan sebagai berikut: ”Hai
Muhammad, putuskanlah perkara di antara seluruh manusia dengan apa yang
diturunkan Allah kepadamu dalam kitab yang agung ini (yaitu
Al-Qur’an)...”
Sedangkan firman Allah:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS
Al Maidah ayat 50)
Mengomentari ayat di atas, maka dalam buku
”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” penulis mencatat: ”Allah mengingkari
orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, karena hukum Allah itu
mencakup segala kebaikan dan melarang segala keburukan. Berhukum kepada
selain hukum Allah berarti beralih kepada hukum selain-Nya, seperti
kepada pendapat, hawa nafsu dan konsep-konsep yang disusun oleh para
tokoh tanpa bersandar kepada syariat Allah, sebagaimana yang dilakukan
oleh masyarakat jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan
yang disusun berdasarkan penalaran dan seleranya sendiri. Oleh karena
itu Allah berfirman ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?” dan
berpaling dari hukum Allah.”
RonnySpy
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.
0 komentar:
Posting Komentar